Janji Manis dan Kopi Pahit

    Janji Manis dan Kopi Pahit
    Sketsa: Janji-Janji Manis Calon Bupati

    CERPEN - Suasana pagi di desa itu mendadak ramai. Penduduk berkerumun di balai desa menyambut calon Bupati yang akan berkunjung. Pak Darmin, sang calon Bupati yang selalu tampil rapi dengan senyum lebar, sudah dijadwalkan berkunjung untuk memberikan pidato dan, tentu saja, janji-janji manis.

    Di tengah kesibukan warga, Bu Siti, ibu rumah tangga yang terkenal jago bikin kopi, sibuk menyiapkan hidangan. "Pokoknya, kopi ini harus spesial. Biar beliau tau kalau warga sini sudah bosan sama yang manis-manis, kita kasih yang pahit sekalian!" ujarnya sambil terkikik.

    Tepat pukul 10 pagi, Pak Darmin tiba di desa. Senyum lebarnya tak pernah hilang, meskipun sinar matahari menyengat. Warga langsung berebut mendekatinya. “Selamat datang, Pak! Kami sangat berharap Bapak bisa mengubah nasib desa kami!” teriak Pak Karto, seorang petani yang paling bersemangat.

    Pak Darmin menaiki panggung kecil yang sudah disiapkan. Setelah beberapa kalimat basa-basi, mulailah dia melontarkan janji-janji andalannya. “Warga Desa Mekarjaya, percayalah, begitu saya duduk di kursi Bupati, jalan-jalan di desa ini akan saya aspal mulus seperti di kota! Setiap rumah akan dapat listrik tanpa byar-pet, dan sekolah-sekolah akan saya bangun hingga anak-anak kalian bisa jadi dokter, insinyur, bahkan pilot!"

    Warga mendengarkan dengan antusias, meski beberapa dari mereka sudah menyeringai mendengar janji-janji yang terdengar terlalu indah.

    Setelah pidato yang panjang lebar, tibalah saatnya Pak Darmin menikmati hidangan yang disiapkan warga. Bu Siti dengan senyum penuh arti menyuguhkan secangkir kopi hitam pekat kepada Pak Darmin.

    “Wah, terima kasih, Bu Siti. Saya suka sekali kopi, apalagi kalau manis, ” katanya sambil mengambil cangkir dan menyeruput kopi tanpa ragu.

    Begitu kopi menyentuh bibirnya, mata Pak Darmin langsung membelalak. Rasanya… pahit sekali! Namun, ia tetap berusaha mempertahankan senyum profesionalnya. “Eh, ehm... kopinya... unik sekali ya, Bu?” kata Pak Darmin, mencoba menahan rasa pahit yang menari-nari di lidahnya.

    Bu Siti yang sudah menduga reaksi itu hanya tersenyum lebar. “Iya, Pak. Ini kopi pahit. Kami sengaja kasih yang pahit biar Bapak tau rasanya. Soalnya warga sini sudah kebanyakan dapat janji manis, tapi kenyataannya pahit terus.”

    Warga yang mendengar itu langsung tertawa terbahak-bahak. Pak Darmin, yang mulai merasa pipinya memerah, hanya bisa ikut tertawa kaku, sambil terus meneguk kopi yang rasanya tak kunjung bersahabat di lidahnya. “Hahaha, iya... iya... pahit, ya..., ” jawabnya, berusaha menormalkan suasana.

    Salah satu warga, Pak Karto, menimpali dengan candaan, “Biar Bapak nggak cuma kasih janji manis terus, kali-kali kasih janji yang pahit tapi bisa ditepati, Pak!”

    Pak Darmin makin salah tingkah, tapi tetap saja ia mengangguk sambil tertawa. “Betul... betul sekali, janji harus ditepati, pahit atau manis!”

    Dan hari itu, Pak Darmin pulang dengan satu pelajaran penting: janji manis tak selalu bisa menutupi kopi pahit, apalagi kalau disuguhkan oleh warga yang sudah cerdik.

    Tamat

    Mesuji, 19 Oktober 2024

    Komarudin 007 [Bukan Siapa-Siapa]

    Cerpen ini terinspirasi: Pilkada Mesuji 2024

    mesuji lampung
    Udin Komarudin

    Udin Komarudin

    Artikel Sebelumnya

    Menghadirkan Pemilih Cerdas di Pilkada 2024

    Artikel Berikutnya

    Bawaslu Mesuji Gelar Bimtek Penguatan Kapasitas...

    Berita terkait